Jumat, 04 Maret 2016

Menerima Francesco Totti sebagai Manusia Biasa

Kamis, 25/02/2016 12:09 WIB
Menerima Francesco Totti sebagai Manusia Biasa
Gampang sajalah: Roma adalah Francesco Totti, Francesco Totti adalah Roma.

Tak perlu panjang lebar menjabarkan arti Totti untuk AS Roma maupun sebaliknya. Ikatan selama hampir 24 tahun menggambarkan semuanya. Setia jadi kata kunci dalam hubungan keduanya.

Ada kegelisahan merayapi Totti ketika klub yang sudah ia bela selama hampir seperempat abad seperti meminggirkannya. Ia tak lagi mendapat jaminan tempat di starting XI dan lebih sering duduk di bangku cadangan.

Musim ini, waktu bermain Totti memang terbilang minim. Cedera hamstring yang sempat membuatnya absen selama tiga bulan juga jadi salah satu faktor. Sejak Spalletti kembali, Totti belum pernah jadi starter, baru tampil 33 menit, dan hanya duduk di bangku cadangan dalam empat pertandingan.

Totti mulai menunjukkan rasa kesal dengan situasinya usai Roma kalah dari Real Madrid di leg pertama babak 16 besar Liga Champions tengah pekan lalu. Totti yang di laga itu hanya tampil di sekitar lima menit terakhir ditanya oleh seorang jurnalis di area mixed zone soal penampilan tim. "Anda ingin wawancara saya? Tapi saya tidak diandalkan lagi," begitu jawaban Totti.

Semuanya lantas tereskalasi dengan cepat.

Hari Sabtu (20/2), Totti melakoni wawancara dengan RAI, stasiun TV nasional Italia, di Trigoria (pusat latihan Roma). Wawancara tersebut sejatinya merupakan edisi spesial untuk merayakan 10 tahun kesuksesan Italia menjuarai Piala Dunia 2006.

Tapi wawancara itu kemudian justru jadi lebih fokus ke situasi Totti. Entah Totti yang meminta atau ada pertanyaan pancingan dari pewawancara, kapten Roma itu lantas mengeluarkan curahan hatinya.

"Saya masih merasa seperti pemain yang secara fisik dalam kondisi bagus dan saya ingin bermain. Sekarang cedera sudah berlalu dan jika saya tidak bermain itu murni keputusan taktis," ucap Totti.

"Saya tidak bisa bertahan di Roma seperti ini. Ada di bangku cadangan itu menyakitkan. Saya paham kalau di usia ini saya bermain lebih sedikit, tapi mengakhiri karier saya seperti ini itu buruk untuk saya sebagai seorang pria dan apa yang sudah saya berikan untuk Roma. Saya menuntut respek lebih untuk semua yang sudah saya lakukan di sini."

***

Dari ruang konferensi pers di Trigoria, Luciano Spalletti menggelar jumpa pers jelang pertandingan melawan Palermo. Di hadapan para jurnalis, pelatih berkepala plontos itu mengonfirmasi bahwa Totti akan jadi starterdalam pertandingan melawan Palermo pada hari Minggu (21/2). Spalletti menilai laga melawan Palermo akan jadi kesempatan yang tepat bagi Totti, yang sudah ada dalam kondisi bagus setelah menjalani serangkaian sesi latihan usai absen cukup lama karena cedera, untuk tampil sejak menit pertama.

Tapi beberapa jam kemudian, setelah mengetahui wawancara Totti, Spalletti dihadapkan pada situasi yang rumit. Spalletti akhirnya mengambil langkah berani: mencoret Totti dari skuat untuk laga melawan Palermo.

Keputusan Spalletti tersebut memantik berbagai reaksi. Satu yang pasti, suporter Roma seolah terbelah. Mereka yang marah melihat Totti diperlakukan demikian menilai Spalletti tidak respek terhadap salah satu pemain terbesar dalam sejarah Roma itu.

Yang terjadi selanjutnya bisa ditebak. Spalletti --yang baru kembali melatih Roma selama satu bulan-- jadi musuh suporter. Namanya disoraki ketika disebut oleh announcer di Olimpico sebelum kick-off pertandingan melawan Palermo. Sementara itu, Totti yang juga datang ke stadion mendapat sambutan hangat dari fans. Nyanyian 'C'e solo un capitano' (hanya ada satu kapten) berkumandang saat Totti muncul di tribun. Beberapa suporter juga menunjukkan dukungannya untuk Totti dengan berbagai tulisan seperti 'Io sto con Totti'(saya bersama Totti) dan 'onore a Totti' (respek untuk Totti).

***

Spalletti menerapkan aturan baru yang tak ada di era Rudi Garcia, yaitu seluruh tim harus menginap di Trigoria sehari sebelum pertandingan kandang digelar. Dan dia sungguh bernyali besar dengan memulangkan Totti. Ia mencoret pemain legenda yang didewakan hampir seluruh Romanisti di dunia.

Langkah Spalletti itu sebenarnya normal-normal saja dari sudut pandang pelatih. Tapi keputusannya jadi luar biasa dan jadi sorotan karena pemain yang ia hadapi adalah Totti. Spalletti sadar betul soal hal itu. "Faktanya adalah, jika Anda mengambil keputusan yang biasanya dianggap normal, atas seorang pemain terbesar yang pernah dimiliki Italia di era pascaperang, itu akan jadi luar biasa," kata Spalletti.

Tapi Spalletti tak punya pilihan lain. Ia hanya mencoba untuk menjaga konsentrasi tim. Setelah pertandingan melawan Madrid, Spalletti meminta Roma untuk segera melupakan kekalahan dan langsung fokus ke Palermo. Tapi ketika wawancara Totti kemudian muncul dan justru jadi topik bahasan utama di media, Spalletti merasa perlu mengambil langkah untuk mempertahankan fokus timnya.

Dengan kontrak yang akan habis di akhir musim dan usia yang sudah mengijak angka 39 tahun, Totti memang pantas gelisah dengan situasinya. Apalagi kalau ia masih merasa cukup fit untuk terus memperkuat satu-satunya klub yang dibelanya sepanjang karier. Obyektifnya lagi, perasaan Totti itu juga didukung oleh data medis, bahwa dia memang masih oke.

Yang disayangkan dari curhat Totti adalah timing-nya. Roma sedang kembali stabil setelah sempat terpuruk usai pergantian tahun. Empat kemenangan beruntun di Serie A, belum termasuk laga melawan Palermo, jadi bukti. Tiga besar yang sebelumnya tampak jauh kini semakin dekat. Maka tak heran kalau Spalletti berusaha keras untuk menjaganya. Bukankah ia memang didatangkan untuk mengembalikan Roma ke jalurnya?

Tidak mengambil langkah terhadap Totti juga akan jadi preseden buruk bagi Spalletti. Kalau boleh menyebut nama, ada pemain-pemain veteran lain yang bisa juga mengeluhkan soal waktu mainnya: Morgan De Sanctis, Bogdan Lobont, Vasilis Torosidis, atau Maicon. Atau pemain muda yang tak kunjung dapat kesempatan seperti Salih Ucan. Spalletti mencoba memperlakukan semua pemain dengan adil, termasuk Totti. 

Tapi sayangnya, banyak yang memandang keputusan Spalletti itu sebagai sebuah hukuman untuk Totti, sehingga tergambarlah kalau hubungan keduanya tidak akur. Padahal tidak begitu. Totti yang datang ke stadion tetap diperbolehkan ke ruang ganti dan menyapa rekan-rekannya. Ia juga terlibat pembicaraan dengan Spalletti. Tanpa tensi.

Sebagai salah satu penggemar terbesar Totti, Spalletti menolak untuk mengkritik kaptennya itu. Bersama Vito Scala, pelatih personal kepercayaan Totti, Spalletti bicara soal masa depan. Ia akan mendukung apapun keputusan Totti, apakah itu menjadi seperti Ryan Giggs yang lantas berperan sebagai asisten pelatih Manchester United, atau seperti Pavel Nedved yang naik ke jajaran manajemen Juventus, atau tetap menjadi pemain. Tapi untuk yang terakhir, Spalletti tetap akan berpegang pada prinsipnya bahwa tim adalah yang utama.

"Klub tahu bahwa kalau Francesco meminta apapun, saya mendukungnya. Dinding di rumah saya dipenuhi kaus yang tergantung dan tujuh atau delapan di antaranya adalah punya Totti," ucap Spalletti.

Meski banyak yang melihat situasi ini sebagai 'Totti versus Spalletti', pelatih berusia 56 tahun itu boleh dibilang menanganinya dengan tenang dan hati-hati. Spalletti tak mau polemik itu jadi berlarut-larut karena tak akan ada gunanya. Keesokan harinya, Totti sudah berlatih lagi bersama rekan-rekannya dengan senyum lebar di wajahnya.
Kini Totti tinggal bicara dengan Presiden Roma, James Pallotta, yang akan tiba di ibukota Italia pekan depan. Jalan keluar sungguh diharapkan akan ketemu untuk situasi ini. Karena melihatnya dari jauh saja bikin sedih.

Ini bukan saran untuk Totti, hanya beberapa opsi yang mungkin ada. Totti masih bisa bernegosiasi untuk memperpanjang kontraknya meski perannya mungkin tak akan sebesar dulu. Atau gantung sepatu dan naik ke jajaran manajemen atau jadi asisten pelatih. Atau, kemungkinan terburuknya, --amit-amit-- pindah ke klub lain. Yang terakhir itu jelas akan bikin hati siapa saja yang menikmati Totti (dan Roma) remuk redam.

Bagaimanapun semua juga kembali lagi ke Totti. Tak ada yang salah memang dengan keinginannya untuk terus bermain bersama Roma. Sepakbola adalah cintanya dan Roma adalah rumahnya. Soal sentuhan di atas lapangan, Totti masih punya. Sentuhan-sentuhannya yang unik, tak ada yang seperti dia. Hanya saja, ketika bicara soal sepakbola saat ini yang butuh kecepatan dan intensitas tinggi, tubuh tak bisa berbohong.

Kalau saja ada ramuan yang bikin awet muda, Romanisti manapun pasti ingin sekali memberikannya untuk Totti. Sungguh. Atau berharap Totti seperti Benjamin Button yang bukan menua tapi makin muda. Tapi lagi-lagi, betapapun besar keinginan melihat Totti untuk terus bermain, waktu tak bisa dilawan. Yang dibutuhkan sekarang adalah kebesaran hati yang selapang-lapangnya untuk menerima.

Karena pada akhirnya, dengan segala keluarbiasaannya, Totti tetaplah manusia biasa.

0 komentar:

Posting Komentar